5. Hendaknya sang wanita jauh dari kerabat lelaki, karena jika semakin jauh kekerabatan maka anaknya kelak semakin pintar.
Karena jika ia menikahi wanita dari kerabatnya maka bisa jadi suatu saat ia menceraikannya dan akhirnya terputus silaturrahmi dengan kerabatnya tersebut, padahal ia diperintahkan untuk menyambung silaturrahmi.[1]
Berkata Ibnu Hajar, “Adapun pendapat sebagian penganut madzhab syafi’iah bahwasanya disunnahkan agar sang wanita (calon istri) bukan dari karib kerabat dekat. Maka jika landasan pendapat ini adalah hadits maka sama sekali tidak ada, dan jika landasannya kepada pengalaman yaitu kebanyakan anak dari pasangan suami istri yang dekat hubungan kekerabatan mereka berdua adalah anak yang bodoh, maka bisa dijadikan landasan (jika memang terbukti pengalaman tersebut)…”[2]
Penulis Zaadul Mustaqni’ (dari madzhab Hanabilah) juga mengisyaratkan akan hal ini dengan perkataannya, “Disunnahkan menikahi…wanita yang taat beragama, ajanabiah (jauh dari kerabat), …”
Syaikh Bin Baaz mengomentari perkataan ini, “Ini adalah perkataan yang keliru, meskipun mereka mengatakan demikian…yang menjadi patokan dalam menikahi wanita yang masih ada hubungan kerabat adalah perkara-perkara yang dituntut kecuali ada penghalang syar’i yang melarang”[3]
Berkata Syaikh Utsaimin, “Selama perkaranya tidak ada dalil syar’i yang wajib untuk diambil maka seseorang hendaknya menjejaki kemaslahatan-kemaslahatan (yang mungkin diperoleh) dalam hal ini”[4]
Adapun hadits
لاَ تَنْكِحُوا الْقَرَابَةَ الْقَرِيْبَةَ فَإِنَّ الْوَلَدَ يُخْلَقُ ضَاوِيًا
“Janganlah kalian menikah dengan kerabat yang dekat (nasabnya) karena sang anak akan lahir dalam keadaan lemah”[5]
Berkata Ibnu As-Solah mengomentari hadits ini, “Aku tidak menemukan bagi hadits ini asal yang bisa dijadikan pegangan”[6]
6. Hendaknya wanita tersebut berasal dari keluarga baik-baik dan dikenal dengan sifat qona’ah, karena rumah yang demikian biasanya merupakan tempat tumbuh wanita yang baik dan qona’ah.[7]
Kondisi yang baik dari keluarga pihak wanita (mertua) cukup memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan akhlak sang wanita, dan bisa jadi merupkan tolak ukur akhlak seorang wanita. Wanita yang tumbuh di keluarga yang dikenal taat beragama maka biasanya iapun akan mewarisi sifat tersebut –meskipun hal ini bukanlah kelaziman-.
Mertua yang taat beragama biasanya memahami kondisi seorang suami sholeh dan pengertian terhadapnya. Kondisi seperti ini menjadikan sang suami mudah untuk berkomunikasi dengan mertua dan ringan baginya untuk mengutarakan unek-uneknya yang berkaitan dengan lika-liku kehidupan rumah tangganya. Jika keadaannya demikian maka sangatlah mendukung diraihnya kebahagiaan yang diharapkan sang suami. Betapa banyak permasalahan rumah tangga suami istri yang bisa terselesaikan karena campur tangan keluarga istrinya yang mengenal agama. Sebaliknya betapa banyak permasalahan suami istri yang timbul disebabkan karena campur tangan keluarga istri yang kurang mengenal agama, bahkan tidak jarang sampai pada tahapan perceraian.
Kemudian jika sang wanita meskipun merupakan wanita yang shalihah namun jika ia tumbuh di keluarga yang tidak dikenal dengan sifat qona’ah (nerima dan bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Allah walaupun sedikit) maka bisa jadi ia memiliki sifat yang royal dalam mengatur keuangan suaminya, dan ini adalah musibah tersendiri bagi suami.
Namun wanita yang shalihah yang tumbuh di keluarga yang qona’ah di zaman ini mungkin agak sulit dicari. Karenanya jika ia tidak menemukan wanita yang demikian sifatnya maka tidak mengapa ia memilih wanita yang shalihah meskipun ia berasal dari keluarga yang boros, karena bisa jadi wanita tersebut menyelisihi sifat keluarganya yang boros
Peringatan
Merupakan harapan semua pemuda jika mereka mendapatkan seorang wanita yang shalihah dan juga wali sang wanita (seperti ayahnya atau pamannya) yang juga sholeh. Namun merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh sebagian para pemuda adalah jika ia telah terpikat dengan salah seorang wanita yang sholihah, kemudian sang wanita juga telah terpikat dengannya, namun ternyata ayah sang wanita tidak setuju dan menolak lamaran sang lelaki dengan alasan yang tidak diterima oleh syari’at. Misalnya karena sang lelaki kurang kaya…, atau karena sang lelaki penampilannya terlalu fanatik…, dan alasan-alasan yang lainnya. Yang menjadi pertanyaan apakah perwalian sang ayah berpindah kepada wali lain yang terdekat kepada sang wanita??
Marilah kita simak penjelasan Syaikh Utsaimin tatkala beliau ditanya dengan pertanyaan yang semisal ini.
Beliau ditanya, “Apakah perwalian seorang putri berpindah dari tangan ayah ke anak laki-lakinya (saudara laki-laki sang putri) jika sang ayah tidak serius memilihkan suami yang sholeh. Jika datang seseorang yang melamar sang putri maka sang ayah tidak memberi perhatian kepada orang tersebut dan tidak bertanya tentang orang tersebut, atau sang ayah menjelek-jelekan putrinya tersebut dihadapan sang pelamar agar mencegah putrinya untuk menikah.”
Syaikh Utsaimin berkata, ((Sesungguhnya wali seorang wanita baik ayah, atau saudara laki-laki, atau paman akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah pada hari kiamat. Wajib bagi sang wali untuk menunaikan amanah ini, maka jika ada seseorang yang taat beragama dan berakhlak mulia dan sang wanita ridho dengan pria tersebut maka wajib bagi sang wali untuk menikahinya. Tidak boleh sang wali mengakhirkan pernikahan sang wanita karena hal itu adalah menyelisihi amanah (yang diembankan Allah kepadanya-pen).Bahkan hal ini merupakan khianat. Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ َاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu,mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. 8:27-28)
Maka wajib bagi seseorang -yang telah Allah jadikan dia sebagai wali seorang wanita- jika ada seorang lelaki yang taat beragama dan berakhlak mulia maju melamar sang wanita untuk segera menikahkannya jika sang wanita ridho dengan pria tersebut.
Hendaknya dia mengetahui bahwasanya wanita itu juga memiliki dan merasakan syahwat sebagaimana yang dirasakannya. Dan saya tidak tahu, jika ada seseorang melarangnya (melarang wali sang wanita) untuk menikah padahal dia adalah seorang pemuda yang memiliki syahwat, maka saya tidak tahu apakah ia akan menganggap orang yang melarangnya ini telah berbuat dzolim kepadanya atau tidak??. Saya yakin ia akan berkata, “Orang ini telah berbuat dzolim kepadaku”. Jika ia mengucapkan hal ini terhadap orang yang melarangnya untuk menikah maka bagaimana ia mensikapi wanita yang lemah ini yang tidak mampu untuk menikahkan dirinya sendiri (dengan melarangnya menikah)??. Dan tidak mungkin kerabat sang wanita yang lain menikahkan sang wanita padahal masih ada wali yang terdekat. Terlalu banyak wanita yang akhirnya mencapai usia tua dan tidak menikah disebabkan perbuatan para wali yang dzolim. Telah diceritakan kepadaku tentang seorang wanita muda yang ayahnya melarang para pelamar yang datang untuk menikahi wanita tersebut, maka akhirnya sang wanitapun sedih dan sakit. Hingga parah dan tatkala ia akan meninggal dan telah datang kepadanya sakaratul maut maka iapun berkata kepada para wanita yang ada disekitarnya, “Sampaikanlah salam kepada ayahku dan katakanlah kepadanya bahwa aku akan mempermasalahkan hal ini dihadapan Allah pada hari kiamat”. Yaitu dia akan menuntut ayahnya di hadapan Allah atas perbuatan ayahnya yang telah melarang para pelamar untuk menikahinya, dan bisa jadi sebab kematiannya adalah karena hal ini juga.
Karena itu kami katakan bahwa barangsiapa yang melarang seorang wanita (yang dibawah perwaliannya) untuk menikah dengan seorang lelaki yang sekufu’ dengannya dan telah diridhoi oleh sang wanita, maka boleh bagi sang wanita untuk menuntut hal ini kepada hakim. Dan wajib bagi hakim untuk memenuhi permintaan sang wanita untuk menikahkannya dengan lelaki yang telah diridhoinya. Bisa dengan mewakilkan pernikahan tersebut kepada wali sang wanita yang terdekat setelah wali yang melarang pernikahan sang wanita, atau ia bertindak dengan tindakan yang menurutnya sesuai dengan syari’at.
Akan tetapi terkadang sang wanita tidak mampu untuk mengangkat permasalahannya ke hadapan hakim karena malu, atau karena takut menyelisihi adat yang berlaku, atau karena hal-hal yang semisalnya. Jika saat itu tidak ada yang tersisa kecuali kemarahan Allah yang sangat keras siksaannya. Maka hendaknya sang wali takut kepada Allah dan hendaknya ia bertakwa kepada Robnya.
Dan aku katakan sebagaimana perkataan para ulama –semoga Allah merahmati mereka- sesungguhnya seorang wali jika berulang-ulang menolak para pelamar yang datang maka ia menjadi seorang yang fasik, hilang ‘adaalah-nya dan tidak bisa menjalankan segala amalan yang disyaratkan ada ‘adaalah dalam amal tersebut. Kemudian perwaliannya berpindah darinya kepada wali yang setelahnya.))[8]
7. Hendaknya wanita tersebut cerdas
Berkata Ibnu Qudamah, “Hendaknya ia memilih wanita yang pandai dan menjauhi wanita yang bodoh (telat mikir) karena nikah itu tujuannya untuk tumbuh pergaulan dan kedekatan antara dua sejoli dan pergaulan itu tidak mantap jika dengan wanita yang bodoh, serta perjalanan hidup jadi kurang indah jika bersama dengan wanita yang bodoh. Bahkan bisa jadi kebodohan wanita itu menular ke anak-anaknya. Dikatakan
اِجْتَنِبُوْا الْحَمْقَاءَ فَإِنَّ وَلَدَهَا ضَيَاعٌ وَصُحْبَتُهَا بَلاَءٌ
Hindarilah wanita yang bodoh karena anaknya sia-sia dan bergaul dengannya adalah bencana”[9]
8. Jika sang pria bernasab tinggi maka hendaknya ia mencari wanita yang nasabnya tinggi juga.[10]
Berkata Ibnu Hajar, “Dan disunnahkan bagi pria yang berasal dari nasab yang tinggi untuk menikahi wanita yang bernasab yang tinggi pula, kecuali jika bertentangan antara wanita yang memiliki nasab yang tinggi namun tidak beragama baik dengan wanita yang tidak bernasab tinggi namun memiliki agama yang baik maka didahulukan wanita yang beragama, demikian juga pada seluruh sifat-sifat yang lain (jika bertentangan dengan agama yang baik maka didahulukan sifat ini)”[11]
Setelah menelaah sifat-sifat di atas maka hendaknya seorang yang sedang berkelana mencari belahan jiwanya agar berusaha menerapkan sifat-sifat tersebut kepada calon istrinya sebelum ia melangkah lebih lanjut melamar sang wanita, semakin banyak sifat-sifat tersebut pada seorang wanita maka semakin baiklah wanita tersebut. Namun ingatlah bahwasanya mencari wanita yang bernilai sembilan koma lima yang memenuhi seluruh sifat-sifat tersebut adalah sesuatu yang sangat sulit sekali bahkan hampir-hampir merupakan perkara yang mustahil apalagi di zaman kita sekarang ini, namun bukan berarti tidak ada. Sungguh beruntung orang yang bisa menemukan bidadari dunia sebelum bertemu dengan bidadari akhirat. Yang sering kita jumpai adalah wanita yang memiliki sebagian sifat-sifat tersebut namun ia tidak memiliki sifat yang lain. Contohnya banyak wanita yang cantik namun ternyata tidak pintar, banyak yang wanita yang shalihah namun ternyata tidak cantik, ada wanita yang shalihah yang berakhlak mulia, cantik, kaya, sejuk jika dipandang, pintar, namun…mandul, dan demikianlah kebanyakan wanita dunia tidak bisa mengumpulkan sifat-sifat di atas seluruhnya. Namun perlu diingat tentunya setiap sifat-sifat tersebut tidak bernilai sama, sifat yang pertama yaitu keshalihan sang wanita memiliki porsi yang sangat tinggi dibandingkan sifat-sifat yang lainnya. Demikian pula kecantikan tentunya lebih diutamakan daripada nasab dan harta. Jika seseorang dihadapkan dengan pilihan antara wanita yang cantik namun kurang baik agamanya dengan wanita yang baik agamanya namun kurang cantik, maka siapakah yang dipilihnya??[12]
Jika bertentangan sifat-sifat tersebut maka yang lebih diutamakan adalah wanita yang shalihah, sebagaimana dalam riwayat yang lain (dari hadits Jabir) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata kepadanya
فََعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنِ
“Wajib bagimu untuk memilih wanita yang shalihah”[13]
Berkata Ibnu Hajar, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “karena kecantikannya” merupakan dalil akan mustahabnya menikahi wanita yang jelita, kecuali jika berlawanan antara wanita yang cantik jelita namun tidak shalihah dengan wanita yang shalihah namun tidak cantik jelita (maka diutamakan yang shalihah meskipun tidak cantik). Jika keduanya sama dalam keshalihan maka yang cantik jelita lebih utama (untuk dinikahi)…”[14]
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدُّنْيَا كُلَّهَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah barang dan sebaik-baik barang adalah wanita yang shalihah”[15]
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَلَيْسَ مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا شَيْءٌ أَفْضَلُ مِنَ الْمَرْأَةِ الصَّالِحَةِ
“Sesungguhnya dunia adalah mataa’ (barang) dan tidak ada barang di dunia ini yang lebih baik dari wanita yang shalihah” [16]
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَمَّا نَزَلَ فِي الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ مَا نَزَلَ قَالُوْا فَأَيُّ الْمَالِ نَتَّخِذُ؟ قَالَ عُمَرُ فَأَنَا أُعْلِمُ لَكُمْ ذَلِكَ فَأَوْضَعَ عَلَى بَعِيْرِهِ فَأَدْرَكَ النَّبِيَّ r وَأَنَا فِي أَثَرِهِ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الْمَالِ نَتَّخِذُ؟ فَقَالَ لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ
Dari Tsauban, tatkala turun firman Allah tentang perak dan emas (yaitu firman Allah وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ ثُمَّ لاَ يُنْفِقُوْنَهَا… Adapun orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya…) (QS 9: 34), mereka (para sahabat) berkata, “Harta apa yang mestinya kita miliki?”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku akan mengabarkan kalian kepada kalian”, lalu beliau mempercepat ontanya hingga bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku (Tsauban) menyusulnya. Umar berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, harta apakah yang mestinya kita miliki?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya yang kalian cari sebagai harta adalah hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, dan istri yang shalihah yang membantu kalian untuk meraih akhirat”[17]
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ النَّبِيِّ صللى الله عليه و سبم أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ ماَ اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتُْه وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَـتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
Dari Abu Umamah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Tidaklah seorang mukmin memperoleh sasuatu kebaikan –setelah memperoleh ketakwaan kepada Allah[18]- melebihi istri yang shalihah, jika ia memerintahnya maka iapun taat, jika ia memandangnya maka menyenangkannya, jika ia bersumpah agar ia melakukan sesaatu maka ia melaksanakan sumpahnya, dan jika ia sedang tidak di rumah maka ia (sang istri) menjaga dirinya (untuk tidak melakukan hal-hal yang nista) dan menjaga hartanya (harta suaminya)” [19]
Dan merupakan musibah jika seseorang tetap nekat memilih wanita yang cantik jelita padahal ia telah mengetahui bahwa wanita tersebut agamanya dan akhlaknya tidak baik.
Berkata At-Thibi,
وَقُيِّدَ بِالصَّالِحَةِ إِيْذَانًا بِأَنَهَا شَرُّ الْمَتَاعِ لَوْ لَمْ تَكُنْ صَالِحَةً
“Dikhususkan pada wanita yang shalihah sebagai pemberitahuan bahwa wanita adalah sejelek-jelek barang yang ada di dunia ini jika ia tidak shalihah” [20]
Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ الْجَارُ السُّوْءُ وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ وَالْمَسْكَنُ الضَّـيِّقُ وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ
“Empat perkara yang merupakan kebahagiaan(yaitu) istri yang shalihah, rumah yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang enak dinaiki, dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan adalah tetangga yang jelek, istri yang buruk akhlaknya, rumah yang sempit, dan kendaraan yang tidak enak dinaiki” [21]
Sesungguhnya wanita yang sholihah dialah yang akan menunaikan kewajiban-kewajibannya dengan sesempurna mungkin baik kewajiban yang berkaitan dengan suaminya, anak-anaknya, keluarga suaminya, dan juga tetangganya. Dialah yang akan berusaha sekuat mungkin karena keimanannya untuk menjadikan engkau ridho kepadanya, karena itulah cita-cita dan tujuan hidupnya.
Dialah yang paham dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”[22]
Oleh karena itu wahai saudaraku janganlah engkau sampai terpedaya dengan keelokan tubuh, keranuman wajah, serta kata-kata manis…ketahuilah dan yakinlah bahwa wanita yang shalihah dialah yang memungkinkan untuk menjadikan rumahnya sebagai surga duniamu yang dipenuhi dengan kasih sayang dan kebahagiaan…
Peringatan
Berkata Syaikh Utsaimin, “Ada orang yang hatinya benar-benar terikat dengan kecantikan, tidak akan tentram hatinya jika dipilihkan baginya wanita yang sangat taat beragama namun kurang cantik. Maka apakah kita katakan hendaknya ia memaksa dirinya untuk memilih wanita tersebut meskipun hatinya tidak tentram dan tidak memilih wanita yang kurang taat namun cantik jelita??, ataukah kita katakan nikahilah wanita yang menentramkan hatimu (yang cantik jelita) yang penting ia tidak sampai derajat wanita yang fajir atau wanita yang fasiq??
Jawabannya, Yang lebih nampak (kebenarannya) adalah jawaban yang kedua kecuali jika wanita tersebut tidak taat dan fasiq serta fajir, karena wanita seperti ini tidak layak untuk ia nikahi”[23]
Renungan
Hendaknya seseorang yang ingin mencari istri membenarkan niatnya, bahwa niatnya ingin menikah adalah bukan sekedar untuk bersenang-senang dengan wanita yang cantik namun niat utamanya adalah untuk beribadah dan menjaga dirinya agar tidak terjatuh pada hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Dengan niat yang baik maka Allah akan memudahkannya mewujudkan apa yang ia harapkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتِبُ الَّذِي يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ
Tiga golongan yang pasti Allah menolong mereka, orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan dirinya, dan orang yang menikah karena ingin menjaga dirinya (dari berbuat kenistaan).[24]
Allah berfirman,
وَأَنْكِحُوْا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُوْنُوْا فُقَرَاءَ يُغْنِهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 24:32)
Semakin besar niat seseorang bahwa ia menikah adalah untuk beribadah kepada Allah, untuk menerapkan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[25] maka pahala yang diperolehnya semakin besar, dan Allah akan semakin membantunya mencapai kebahagiaan. Perkaranya kembali kepada niat yang benar, seseorang bisa saja mengandalkan usaha yang ia lakukan, namun taufik hanyalah di tangan Allah, barangsiapa yang niatnya benar maka Allah akan memberi taufik kepadanya untuk memilih istri yang shalihah.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً بِعِزِّهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلاَّ ذُلاًّ وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِمَالِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلاَّ فَقْرًا وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إِلاَّ دَنَاءَةً وَمَنْ تَزَوَجَّ امْرَأَةً لَمْ يَتَزَوَّجْهَا إِلاَّ لِيَغُضَّ بَصَرَهُ أَوْ لِيَحْصُنَ فَرْجَهُ أَوْ يَصِلَ رَحِمَهُ بَارَكَ اللهُ لَهُ فِيْهَا وَبَارَكَ لَهَا فِيْهِ
“Barangsiapa yang menikahi wanita karena pamornya maka Allah tidak akan menambahkan kepadanya kecuali kehinaan, barangsiapa yang menikahi wanita karena menginginkan hartanya maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kemiskinan, barangsiapa yang menikahi wanita karena kedudukannya maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kerndahan, dan barangsiapa yang menikahi wanita agar bisa menjaga pandangannya atau untuk menjaga kemaluannya atau untuk menyambung silaturrahmi maka Allah akan memberikan barokah baginya pada istrinya dan memberikan barokah bagi istrinya padanya”[26]
Kisah menarik yang dialami oleh Muhaddits terkenal Sufyan bin ‘Uyainah semoga menjadi bahan renungan bagi para pencari istri.
قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى النيسابوري كُنْتُ عِنْدَ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَشْكُوْ إِلَيْكَ مِنْ فُلاَنَةٍ يَعْنِي امْرَأَتَهُ. أَنَا أَذَلُّ الأَشْيَاءِ عِنْدَهَا وَأَحْقَرُهَا فَأَطْرَقَ سُفْيَانُ مَلِيًّا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ لَعَلَّكَ رَغِبْتَ إِلَيْهَا لِتَزْدَادَ بِذَلِكَ عِزًا فَقَالَ نَعَمْ يَا أبَا مُحَمَّدٍ. فَقَالَ مَنْ ذَهَبَ إِلَى الْعِزِّ ابتُلِيَ بِالذُّلِّ وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى الْمَالِ ابْتُلِيَ باِلْفَقْرِ وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى الدِّيْنِ يَجْمَعُ اللهُ لَهُ الْعِزَّ وَالمْاَلَ مَعَ الدِّيْنِ
ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُهُ فَقَالَ كُنَّا إِخْوَةً أَرْبَعَةً مُحَمَّدٌ وَعِمْرَانُ وَإِبْرَاهِيْمُ وَأنَا، فَمُحَمَّدٌ أَكْبَرُنَا وَعِمْرَانُ أَصْغَرُنَا وَكُنْتُ أَوْسَطَهُمْ. فَلَمَّا أَرَادَ مُحَمَّدٌ أَنْ يَتَزَوَّجَ رَغِبَ فِي الْحَسَبِ فَتَزَوَّجَ مَنْ هِيَ أَكْبَرُ مِنْهُ حَسَبًا فَابْتَلاَهُ اللهُ بِالذُّلِّ وَعِمْرَانُ رَغِبَ فِي الْمَالِ فَتَزَوَّجَ مَنْ هِيَ أَكْبَرُ مَالاً مِنْهُ فَابْتَلاَهُ اللهُ بِالْفَقْرِ أَخَذُوْا مَا فِي يَدَيْهِ وَلَمْ يُعْطُوْهُ شَيْئًا فَنَقَّبْتُ فِي أَمْرِهِمَا فَقَدِمَ عَلَيْنَا مَعْمَرُ بْنُ رَاشِدٍ فَشَاوَرْتُهُ وَقَصَصْتُ عَلَيْهِ قِصَّةَ أَخَوَيَّ فَذَكَّرَنِي حَدِيْثَ يَحْيَى بْنِ جَعْدَة وَحَدِيْثَ عَائِشَةَ فَأَمَّا حَدِيْثُ يَحْيَى بْنِ جَعْدَةَ قَالَ النَّبِيُّ صللى الله عليه و سبم تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى أَرْبَعٍ دِيْنِهَا وَحَسَبِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِها فَعَلَيْكَ بَذَاتِ الدَّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ، وَحَدِيْثُ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صللى الله عليه و سبم قَالَ أَعْظَمُ النِّسَاءَ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مُؤْنَةً.
فَاخْتَرْتُ لِنَفْسِي الدِّيْنَ وَتَخْفِيْفَ الظَّهْرِ اقْتِدَاءً بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صللى الله عليه و سبم فَجَمَعَ اللهُ لِيَ الْعِزَّ وَالْمَالَ مَعَ الدِّيْنِ
Berkata Yahya bin Yahya An-Naisaburi ia berkata, “Aku duduk bersama Sufyan bin ‘Uyaiynah, lalu datanglah kepadanya seorang pria lalu berkata, “Wahai Abu Muhammad (kunyahnya) aku mengeluh kepadamu tentang si fulanah (yaitu istrinya), aku adalah sesuatu yang paling rendah dan yang paling hina di mata istriku”. Sufyanpun menundukkan kepalanya sesaat kemudian ia mengangkat kepalanya seraya berkata, “Mungkin engkau dahulu menikah dengannya karena engkau ingin derajat dan martabatmu naik?”, pria itu berkata, “Benar wahai Abu Muhammad”. Sufyan berkata, “Barangsiapa yang (menikah) karena menginginkan martabat maka ia ditimpa dengan kerendahan dan kehinaan, barangsiapa yang menghendaki harta maka akan ditimpa dengan kemiskinan dan barangsiapa yang menghendaki agama maka Allah akan mengumpulkan mertabat dan harta bersama dengan agama”. Kemudian Sufyanpun bercerita kepadanya, ia berkata, “Kami empat bersaudara yaitu Muhammad, Imran, Ibrahim, dan saya. Muhammad adalah yang tertua diantara kami dan Imran adalah yang paling muda diantara kami, adapun aku adalah anak yang tengah. Tatkala Muhammad ingin menikah maka ia ingin mencari pamor dan martabat, lalu iapun menikahi wanita yang lebih tinggi martabatnya daripada dia, maka Allah menimpakan kepadanya kerendahan, Imran menghendaki harta lalu ia menikahi dengan wanita yang lebih kaya darinya maka Allah menimpakan kemiskinan kepadanya, mereka (keluarga istrinya) mengambil harta Imran dan mereka sama sekali tidak memberikan sesuatupun kepadanya. Akupun meneliti kejadian mereka berdua, lalu datang di negeri kami Ma’mar bin Rasyid lalu akupun bermusyawarah dengannya, aku ceritakan kepadanya tentang kejadian yang dialami oleh dua saudaraku lalu iapun mengingatkan aku pada suatu hadits Yahya bin Ja’dah dan hadits ‘Aisyah. Adapun hadits Yahya bin Ja’dah “Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena martabatnya, karena kecantikannya, karena agamanya, maka hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya (jika tidak kau lakukan) maka tanganmu akan menempel dengan tanah”, dan hadits Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أََعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أيْسَرُهُنَّ مُؤْنَةً “Wanita yang paling banyak barokahnya adalah yang paling ringan maharnya”. Akupun memilih untuk diriku wanita yang baik agamanya dan yang ringan maharnya dalam rangka mngamalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allahpun mengumpulkan bagiku martabat, harta dan agama.” [27],
Doa merupakan senjata terampuh untuk memperoleh istri sholehah
Yang paling penting bagi seseorang yang hendak mengembara mencari pasangan hidup adalah ia berdoa kepada Allah, karena seperti kata pepatah “Manusia hanya bisa berusaha namun Allah-lah yang menentukan, jodoh di tangan Allah”. Diantara doa-doa yang berkaitan dengan hal ini adalah doa yang telah sering dibaca yaitu,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(Ya Tuhan kami berikanlah bagi kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari adzab neraka)
Ali radhiallahu ‘anhu menafsirkan makna al-hasanah di dunia adalah wanita sholihah dan al-hasanah di akhirat adalah bidadari, adapun adzab neraka adalah wanita yang jelek agamanya[28].
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab menafsirkan ayat tersebut, beliau berkata, الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ مِنَ الْحَسَنَاتِ “Wanita shalihah termasuk al-hasanah”[29]
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
وَصَلَى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 30 Maret 2005
Selesai muroja’ah kembali 3 April 2006
Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Daftar Pustaka
1. Subulus Salam karya As-Shon’ani, tahqiq Muhammad Abdulaziz Al-Khouli terbitan Dar Ihya At-Turots
2. Khutuwat ilas Sa’adah, karya Abdulmuhsin Al-Qosimi
3. Syarh Muntahal Irodaat, karya Al-Bahuti, terbitan ‘Alamul kutub
4. Aunul ma’bud karya Nuhammad Syamsulhaq Al-‘Adzim Abadi, Darul Kutub Ilmiah
5. Faidul Qodir, karya Abdurrouf Al-Munawi, terbitan Al-Maktabah At-Tijariah
6. Umadatul Qori karya Al-‘Aini, terbitan Dar Ihyaut Turots
7. Ad-Dur Al-Mantsur, karya Abdurrohman Jalalluddin As-Suyuthi, tahqiq DR Basyar ‘Awwad, terbitan Dar Al-Fikr
8. Hasyiah As-Sindi (syarh sunan Ibnu Majah) tahqiq Abu Guddah, terbitan Maktab Al-Matbu’aat
9. Kasyful Qina’ karya Mansur bin yunus bin Idris Al-Bahuti, tahqiq Hilal Musthofa Hilal, terbitan Darul Fikr
10. Tuhfatul Ahwadzi, karya Al-Mubarokfuri, terbitan Darul Kutub Ilmiah
11. Al-Mugni, karya Ibnu Qudamah, terbitan Darul Fikr
12. Al-Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Lajnah Ihyaa’ At-Turots Al-‘Arobi, Dar Al-Aafaaq Al-Jadiidah
13. At-Ta’liiqoot Ar-Rodhiyyah ‘ala Ar-Roudhoh An-Nadiyyah, Syaikh Al-Albani, tahqiq Ali Hasan, cetakan pertama Dar Ibnu ‘Affaan.
14. Tahdzibul Kamal karya Yusuf Abul Hajjaj Al-Mizzi, terbitan Muasasah Ar-Risalah
15. Al-Minhaj syarh shahih Muslim karya Imam An-Nawawi, Dar Ihyaut Turots Al-Arobi
16. Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, Darul Ma’rifah
17. Fathul Wahhab, karya Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari Abu Yahya, terbitan Darul Kutub Ilmiyah
18. Lisanul Arab, karya Ibnu Mandzur, terbitan Dar Shodir
19. An-Nihayah fi goribil hadits, karya Ibnul Atsir, terbitan Darul Ma’rifah
20. Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd, tahkik Hasan Hallaq, terbitan Maktabah Ibnu Taimiyah
21. Asy-Syarhul Mumti’, karya Syaikh Muhammad Sholeh Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi
22. Zaadul Ma’aad fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad, karya Ibnul Qoyyim, tahqiq Al-Arna’uth, terbitan Muassasah Ar-Risalah, cetakan ke 14
23. Tafsir As-Sa’di, Muassasah Ar-Risalah
24. At-Talkhis Al-Habir, Ibnu Hajar Al-Atsqolani, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamaani Al-Madani
25. Khulashotul Badr Al-Muniir, Ibnul Mulaqqin, tahqiq Hamdi Abdul Majid As-Salafi
26. Ahkaam Ar-Ru’yah ‘indal khithbah, DR Abdul Kariim bin Yusuf Al-Khudr, Daar Balansiah
Catatan Kaki:
—————-
[1] Kasyful Qina’ 9/5
[2] Fathul Bari 9/135
[3] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 567
[4] Asy-Syarhul Mumti’ XII/15
[5] Lihat makna hadits ini dalam Lisaanul ‘Arob XIV/489
[6] At-Talkhis Al-Habiir III/146, Khulashotul Badr Al-Muniir II/179 no 190
[7] Kasyful Qona’ 5/9
[8] Nuur ‘alaa Ad-Darb no 257 side B
[9] Al-Mugni 7/83
[10] Pendapat ini berdasarkan hadits Abu Hurairah, “Wanita itu dinikahi karena empat perkara…”, namun sebagaimana telah kita jelaskan bawha pendapat yang benar adalah pendapat yang dipilih oleh Imam An-Nawawi bahwa hadits ini adalah bukan mendorong seseorang menikah karena empat perkara tersebut, namun hanyalah menjelaskan kenyataan yang terjadi di masyarakat
[11] Fathul Bari 9/135
[12] Sebagian orang mungkin memilih wanita yang cantik walaupun agamanya kurang baik atau bahkan tidak baik dengan harapan ia akan mendidiknya, atau ia mengatakan insya Allah, Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Namun kenyataannya banyak diantara mereka yang tidak berhasil dalam mendidiknya, hingga akhirnya kebahagiaan yang diharapkan dengan menikah wanita yang cantik hanya ia rasakan sebulan, dua bulan saja. Seorang wanita bagaimanapun canitknya ia jika tidak dihiasi dengan akhlak yang mulia maka kecantikan tersebut tidak akan terlihat indah, sebaliknya seorang wanita yang wajahnya pas-pasan saja namun jika dihiasi dengan akhlak yang mulia maka kebahagiaanpun akan datang dan ia akan nampak begitu cantik sekali dihadapan suaminya karena terhias dengan mahkota akhlak yang mulia.
Bahkan yang lebih parah dari itu, banyak pemuda yang shalih akhirnya berubah dikarenakan pengaruh istrinya yang tidak shalihah. Bukannya ia yang mendakwahi istrinya bahkan yang terjadi malah sebaliknya. Oleh karena itu hendaknya seseorang jangan sampai meremehkan sifat keshalihan seorang wanita.
Pentingnya sifat ini juga disadari oleh orang-orang yang suka berbuat fasad dan kemaksiatan. Betapa banyak orang yang suka bergaul dengan wanita-wanita jalanan berkata, “Aku ingin mencari wanita yang shalihah”, karena ia menyadari dengan pengalamannya bersama wanita-wanita jalanan bahwa mereka tidak akan mendatangkan kebahagiaan baginya di waktu mendatang dalam waktu yang lama.
[13] HR Muslim 2/1087
[14] Fathul Bari 9/135
[15] HR Muslim 2/1090 dan Ahmad 2/168
[16] HR Ibnu Majah 1/596, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul jami’ no 2049
[17] HR At-Thirmidzi no 3094, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat juga shahihul jami’ no 5355. Berkata Syaikh As-Sindi, “Kesimpulannya jawaban Nabi r adalah jawaban yang bijaksana untuk mengingatkan bahwasanya cita-cita seorang mukmin hendaknya bergantung kepada akhirat maka hendaknya ia meminta kepada Allah apa-apa yang bermanfaat bagi akhiratnya, dan harta yang ada di dunia ini seluruhnya tidak ada yang selamat dari kejelekan” (Syarh sunan Ibni Majah 2/413)
[18] Berkata As-Sindi, “Hal ini menunjukan bahwa takwa merupakan tujuan seorang mukmin dan memang asalnya tidak ada sesuatupun yang menyamai nilainya” (Syarh Sunan Ibni Majah 2/414)
[19] HR Ibnu Majah 1/596 no 1857 dan di dhoifkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Ad-Dha’ifah no 3553. Berkata Syaikh As-Sindi, “Pada isnadnya ada perawi yang lemah yang bernama Ali bin Zaid bin Jad’an, demikian juga Utsman bin Abi ‘Atikah yang diperselisihkan kredibilitaasnya oleh para ulama. Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai dari hadits Abu Hurairah dan ia (An-Nasai) tidak mengomentarinya. Hadits ini juga memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar, Wallahu A’lam.” (Syarh Sunan Ibni Majah 2/414)
[20] Fidhul Qodir 3/549
[21] HR Ahmad 1/168, Al-Bazzar 4/20, Ibnu Hibban dalam shahihnya 9/340, dan Al-Hakim 2/157 no 2640 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul jami’ no 887
[22] HR AT-Thirmidzi no 1159, Ibnu Majah no 1853 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat As-Shahihah no 3366)
[23] Asy-Syarhul Mumti’ XII/14
[24] HR At-Thirmidzi 4/184, An-Nasai di Al-Kubro 3/194, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 10/318 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Misykat Al-Mashobih 2 no 3089, shahih targhib wat Tarhib 2 no 1308, goyatul marom no 210)
[25] Banyak sunnah-sunnah Nabi r yang tidak bisa diterapkan kecuali oleh oang-orang yang menikah, diantaranya adalah Sabda Nabi
مَنْ غسل وَاغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ غَدَا وَابْتَكَرَ ثُمَّ جَلَسَ قَرِيْبًا مِنَ الإِمَامِ وَأَنْصَتَ وَلَمْ يَلْغُ حَتَّى يَنْصَرِفَ الإِمَامُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوْهَا كَعَمَلِ سَنَةٍ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
Barangsiapa yang memandikan dan mandi pada hari jum’at kemudian pergi pagi-pagi (ke mesjid) dan bersegera kemudian duduk dekat dengan imam dan konsentrasi mendengarkan, tidak melakukan hal-hal yang sia-sia hingga imam selesai sholat maka baginya pahala puasa dan sholat malam selama setahun untuk setiap langkah kaki yang dilangkahkannya. (HR Ahmad 2/209, Ibnu Hibban 7/19, Ibnu Khuzaimah, An-Nasai di Al-Kubro 1/522, At-Thirmidzi 2/368 3/128 Ad-Darimi 1/437, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Sabda Nabi (غسل) diriwayatkan dengan mentasydid huruf sin ((غسَّل)) dan artinya adalah menjima’i istri sehingga menyebabkan istrinya mandi janabah. Dan ini adalah pendapat Abdurrahman bin Al-Aswad dab Hilal bin Yasaf dari kalangan tabi’in dan merupakan pendapat Imam Ahmad dan Al-Qurtubhi- sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (II/73), lihat juga Fathul Baari (II/366)
Menurut pendapat ini seseorang yang hendak berangkat ke mesjid untuk melaksanakan sholat jum’at disunnahkan baginya untuk menjima’i istrinya karena hal itu menenangkan hatinya dan lebih menundukan pandangannya tatkala ia berjalan menuju mesjid. Adapun pendapat yang kedua yaitu yang memilih riwayat tanpa mentasydidi huruf siin (غسَل) maksudnya adalah ia mencuci (kepalanya) dan ini adalah pendapat Imam An-Nawawi. (Lihat Al-Fath 2/366 dan Al-Mughni 2/73).
[26] HR At-Thabrani dalam Al-Awshoth 3/21-22. dan hadits ini didhoifkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Ad-Dho’ifah 3/68 no 1055, demikian juga dalam Dho’if Targhib wat Tarhib no 1208
[27] Tahdzibul Kamal 11/194-195
[28] Fathul Bari 11/192, Umdatul Qori 18/113
[29] Ad-Dur Al-Mantsur 1/561